1. K.H. Djalal Suyuthi
Beliau lahir di Salam Kanci, sebuah desa di barat daya kota Magelang. Sebagai putra Kyai Yunus yang merupakan tokoh masyarakat desa tersebut. Perawakannya gagah, berkulit putih, dan sangat patuh pada orang tua. Pernah suatu hari kelaparan menimpa keluarga Kyai Yunus ini, namun Djalal kecil ini tidak menangis bahkan beliau dapat membahagiakan orang tuanya dengan berkata: “meniko sedanten saking nikmatipun Gusti Allah ta’ala ingkang kedah kulo lan bopo ibu syukuri”.
Keilmuan beliau diawali dari Kyai Yunus sendiri mengenai baca Al-Qur’an, sholat, dan do’a-do’a. Lalu dengan berbekal seadanya beliau berjalan dari rumahnya menuju pulau garam untuk berguru kepada K.H. Kholil Bangkalan, Madura.
Setelah beberapa tahun, beliau melanjutkan perjalanan menuju Desa Donglo yang masuk wilayah Lirboyo, Kediri untuk berguru kepada Kyai Donglo. Setelah beberapa tahun beliau tetap menjelajah tempat-tempat para ulama meneteskan ilmunya. Sampai-sampai walau telah menikah beliau tetap mengembara mencari ilmu. Beliau meninggalkan Nyai Welas yang sedang mengandung putra beliau (K.H. Duri) 3 bulan bersama putri pertama beliau (Nyai Sahlah) sampai berbulan-bulan, bahkan ada yang berkata sampai K.H. Duri beranjak dewasa.
K.H. Djalal Suyuthi, ulama yang senantiasa haus akan ilmu. Ketinggian ilmunya membuktikan bahwa beliau memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Diceritakan bahwa lokasi pondok pesantren Al-Manar ini dulunya dikenal dengan tempat yang sangat misterius. Banyak sekali kejadian-kejadian ghaib yang disaksikan masyarakat Petungsari dan sekitarnya. Nampaknya ini pula lah yang menyebabkan Bapak Juwahir akhirnya me-wakaf-kan tanahnya, karena beliau yakin K.H. Dalal Suyuthi sanggup menempati dan mengelola tanah yang wingit (angker) itu menjadi tempat yang bermanfaat.
Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 pernah terjadi suatu kejadian dengan daerah-daerah yang dilewati beliau. Jalan yang melintasi daerah tersebut (sekarang disebut Jl. Raya Solo-Semarang) tidak mampu dilewati tentara Jepang. Dikabarkan bahwa itu karena pagar ghaib dari K.H. Djalal Suyuthi. Ketika Jepang tahu, beliau ditangkap dan ingin dibawa ke markas. Namun baru melangkah beberapa meter, Kyai Djalal Suyuthi menjatuhkan pecinya. Beliau memberikan satu tantangan, bila tentara Jepang mampu mengangkat peci tersebut, beliau bersedia dibawa dan sebaliknya bila tidak mampu. Ternyata tak satupun dari mereka yang mampu. Akhirnya beliau dilepaskan.
Diceritakan pula bahwa beliau pernah melakukan sholat di pinggir jalan setapak dan dilihat sebagai batu besar oleh tentara Jepang. Suatu ketika kelebihan-kelebihan beliau didengar oleh paduka yang mulia Sultan Hamengku Buwono I Keraton Ngayogyokarto. Beliau dipanggil untuk dinobatkan menjadi Bupati wilayah Kartosuro (sekarang Surokarto). Beliau menolak dengan halus dengan alasan lebih suka mengaji bersama para santri.
Begitulah sebagian kecil perjalanan sang pejuang yang begitu haus akan ilmu, penuh keprihatinan, sesabaran, keuletan, tegar, serta tidak terganggu anak maupun istri. Sehingga tanpa dimintapun beliau sebenarnya telah benar-benar siap mengemban misi suci dakwah di Desa Petungsari yang kini menjadi Desa Bener seperti yang diminta Kyai Na’im, teman beliau yang telah benar-benar mengakui keluhuran ilmu yang dimiliki oleh Kyai Jalal. Beliau akhirnya menghadap Allah SWT pada hari Rabu Pon, 20 Oktober 1947 di Klero (rumah istri ketiga).
Sepeninggal K.H. Djalal Suyuthi, kepemimpinan Pondok pesantren dipegang oleh K.H. Duri (putra beliau) dan Pondok Pesantren ini diberi nama “As-Suyuthiyyah”, diambil dari nama pendirinya. K.H. Duri memegang kepemimpinan hingga tahun 1963 dengan santri sekitar 50-70 orang.
Setelah K.H. Duri meninggal pada tahun 1963, Pesantren dipimpin oleh adik beliau yang bernama K.H. Muh. Suhudi. Pada masa kepemimpinan beliau, Pesantren banyak mengalami goncangan karena pengaruh suhu politik di Indonesia yang sedang memanas. Sebagai puncak resesi/goncangan tersebut, pada tahun 1975 jumlah santri tinggal 23 orang. Tetapi pada tahun itu pula didirikan TK dan fasilitas pendidikan ditambah untuk mendidik anak-anak usia tersebut. Kepemimpinan K.H. Muh. Suhudi berlangsung sampai tahun 1983 karena beliau meninggal dunia.
4. K. Fatkhurrohman
Beliau lahir di Desa Bener –dulunya Petungsari- 3 KM sebelah selatan Kota
Salatiga, dari seorang ayah bernama K.H. Duri (putra kedua K.H. Djalal Suyuthi)
dan ibu bernama Juwariyatun. Beliau besar di lingkungan pesantren dan
berkembang menjadi pemuda yang lincah, cerdas, rajin, ulet, dan tekun beribadah.
Teman-teman beliau selalu menjadikannya yang terdepan. Bahkan dalam hal
olahraga seperti catur, bulu tangkis dll, beliau sering menjuarainya. Beliau
juga dikenal sebagai orang yang selalu tampil rapi dengan kesederhanaan dan
berdisiplin tinggi.
Beliau juga terkenal dengan sifat “sako”. Paling tidak suka dengan orang yang bakhil. Secara ‘sirri’ beliau sering memberi makan santri dan anak Desa Bener yang membutuhkan. Sejak usia dini sudah belajar mengaji, mula-mula belajar Al-Qur’an dari ayahnya sendiri. Setelah ‘khatam’, beliau baru mempelajari cabang ilmu yang lain seperti; jurumiyah, sulam munajah, amtsilatut tashrifiyah, dan sulam taufiq.
Untuk memperdalam ilmu-ilmu tersebut, beliau meninggalkan kampung halaman. Pertama kali beliau nyantri di Pondok Pesantren BUQ Gading Tengaran selama kurang lebih 3 tahun. Kemudian beliau melanjutkan pencarian ilmu ke kaliwungu, Kendal. Kaliwungu dikenal sebagai Kota Santri karena setiap jarak 100 meter ada sebuah pesantren. Di kota ini beliau memilih pondok pesantren APIKK yang diasuh oleh K. Fauzan, tepatnya di Kembangan, Krajan Kulon Kaliwungu. Sebelah selatan Masjid Agung Al-Muttaqin Kaliwungu beliau memperdalam ilmu alat serta memperdalam cakrawala. Di tempat ini beliau dikenal cerdas dan pemurah. Ketika mendapat kiriman bekal dari rumah, semua dibelanjakan dengan teman-teman santri dan dimakan bersama. Hal ini membuat mereka semakin salut dan kagum serta hormat.
Lazimnya pesantren-pesantren di kaliwungu, santri diperkenankan mengaji ke pesantren lain, maka beliaupun nyantri kepada K. Komed, pengasuh PP. ASPIR, sebelah barat laut Masjid Agung Al-Muttaqin. Beliau memperdalam ilmu alat “Alfiyyah ibn Malik”. Beliau juga memperdalam ilmu tafsir kepada K. Rukhyat, pengasuh PP. APIK, sebelah utara Masjid Agung. Dan men-tashih-kan Al-Qur’an kepada K. Asror, pengasuh PP. Tahfizul Qur’an, sebelah utara Masjid Agung.
Pernah diceritakan, suatu ketika beliau tidak mengaji malah berputar-putar kota Kaliwungu dengan sepeda. Hal ini diketahui oleh pengasuh, ketika pengajian dimulai, bapak Kyai menyuruh beliau membaca kitab yang sedang dikaji di depan santri yang lain. Luar biasa, dengan lancar dan fasih disertai penjelasan yang memahamkan mampu beliau ungkapkan di depan para santri. Hal itu pula yang membuat beliau semakin disegani.
Setelah dirasa cukup, akhirnya beliau pulang ke kampung halaman. Hal ini telah dinanti-nantikan oleh masyarakat Bener. Namun Allah menghendaki lain. Beliau masih berkeinginan memburu ilmu kembali. Kali ini beliau berangkat ke Ringin Agung, Jawa Timur dan masuk jenjang Aliyah. Kemudian pindah lagi ke PP. Bandar dan memperdalam Kitab Mahali, Kitab Ihya’ Ulumuddin, Kitab Iqna’ dll. Beberapa bulan kemudian, beliau melanjutkan pencarian ilmu ke pesantren Kencong dan Tretek, Pare, Kediri. Beliau masih terus berpindah dari tempat satu ke tempat lain untuk mencari ilmu, dan terakhir di Dermo, Pare, Kediri, Jawa Timur.
Pergaulan beliau dengan sesama santri sangat akrab. Salah satunya dengan santri yang bernama M. Maksum yang asli dari daerah itu. Seperti santri lain, ia pun kagum kepada beliau hingga hubungan keduanya seakan-akan seperti saudara yang begitu dekat. Beliau sering diajak ke rumahnya hingga akhirnya keluarga M. Maksum bermaksud menikahkan adik perempuannya yang bernama Iphyta Masyrifah dengan beliau. Beberapa bulan kemudian, K. Fatkhurrohman menerima tawaran itu.
Dari pernikahan itu, beliau menurunkan lima putera; Ibu Nyai Fatekhah Ulfah, Abah K. Kholid Ulfi Fatkhurrohman, Abah K. As’ad Haris Nasution Fatkhurrohman, Nanik Quraisy, dan Wiwik Elia Nur Wahidah yang semuanya lahir di pare, Jawa Timur.
Sepulang dari Pare dengan membawa istri tercinta, beliau diminta mewakili ayahandanya mengurus para santri. Kepulangannya ke Desa Bener kelihatannya telah dipersiapkan oleh K.H. Duri sebagai pengganti beliau. Sehingga tak lama kemudian, K. Duri wafat pada tahun 1963. Meskipun di lapangan, kendali pesantren ada di tangan adik-adik Kyai Duri yaitu; K. Asyhuri (w. 1966), dan K. Muh. Suhudi (w. 1983). Sepeninggal beliau berdua tahun 1983, K. Fatkhurrohman resmi menjadi pengasuh.
Sifat kepemimpinan K. Fatkhurrohman telah tampak semenjak beliau masih kecil. Dalam memimpin pondok pesantren (1983), sistem yang beliau gunakan sangat berbeda dengan para pendahulunya. Beliau berkeinginan mengentaskan kaum yang lemah dan terbelakang, beliau banyak mengadakan pembaharuan. Dimulai dari memproklamasikan nama “Al-Manar” sampai mendirikan Universitas. Beliau menginginkan keseimbangan antara pendidikan formal dan nonformal, sehingga santri diharapkan mampu membaca kitab kuning sekaligus menguasai ilmu umum. Terbukti 6 tahun ke depan beliau mendirikan Madrasah Tsanawiyah tahun 1986 meskipun hal itu bersamaan dengan merenovasi pondok dan memugar masjid. Beliau mendirikan asrama baru untuk santriyati dan sekaligus gedung MTs. Selang 3 tahun kemudian beliau mendirikan Madrasah Aliyah (1989). Dan 3 tahun kemudian (1992) beliau membentuk wadah organisasi yang lebih formal dalam bentuk “Yayasan Al-Manar”. Beliau pernah menerapkan sistem ‘muhadatsah bi-lughoh al arobiyah’ dan ‘conversation by english language’. Sedangkan rencana mendirikan universitas belum terlaksana. Metode pengajaran yang beliau terapkan sangat tepat, yaitu dengan pendekatan psikologis anak, menghiasinya dengan kesabaran, tauladan, disiplin, rapi, dan tertib.
Sebuah peninggalan dari beliau yang masih terus diingat setiap santri sampai sekarang dan juga menunjukkan sifat patriotisme beliau adalah Mars Al-Manar yang insya allah dapat dilihat di dalam profil ini. Satu kesimpulan yang dapat diambil, beliau adalah sosok yang sangat moderat.
Pada bulan muharrom, di tengah para santri yang sedang menjalankan riyadhoh batin dengan memperbanyak puasa, sholat lail, dan wirid berjam-jam, K. Fatkhurrohman jatuh sakit. Setelah berganti bulan, sakit beliau tak kunjung sembuh malah bertambah parah. Beliau pun dibawa ke rumah sakit DKT dan menurut keterangan dokter, beliau menderita penyakit paru-paru yang sudah sangat kritis. Ketika sakit yang diderita beliau dirasa agak mendingan, beliau minta dibawa pulang kembali ke pesantren. Setengah bulan kemudian beliau minta berobat ke Jawa Timur karena merasa penyakitnya kambuh. Sebelum berangkat ke Probolinggo Jatim, beliau menyalami semua santri dari kamar A sampai kamar F putra seakan sebagai isyarat perpisahan. Tepat hari rabu di bulan safar 1413, ada kabar yang ditujukan pada Bapak Saroyo bahwa beliau telah menghadap Allah SWT.
5. K. Muhammad Imam Fauzy
Kyai Muhammad Imam Fauzy adalah putra K. Soekarno (pionir pon-pes Al
Ittihad, Poncol, Bringin) yang lahir pada tanggal 09 September 1964. Pada
awalnya beliau adalah santri pondok pesantren Al-Manar yang dinikahkan dengan
putri sulung K. Fatkhurrohman (Nyai Fatekhah Ulfah) pada tanggal 23 Maret 1989.
Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 4 putra; Ivah Fauzah, Nur Faizatul
Latifah, M. Itqon Faza A’rof, Rahma Adibatul Fauziyah.
Beliau diangkat menjadi pengasuh pondok pesantren Al-Manar sejak
sepeninggalannya K. Fatkhurrohman (tahun 1993) sampai tahun 2000. Selama itu
banyak kemajuan yang dicapai. Penambahan sarana-pra sarana berupa gedung,
dibukanya program khusus setingkat SLTA yaitu Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK)
pada tahun 1994/1995 yang sebelumnya adalah Madrasah Aliyah Umum (MAU). Serta
peningkatan kualitas dan kuantitas santri.
Beliau dikenal alim, cerdas, ahli fiqih, tafsir, dan ilmu falaq. Sangat
arif terhadap santri, hubungan beliau dengan masyarakat sangat dekat, tercermin
dari ke-tawadlu-kan beliau dengan tanpa membedakan siapapun, besar kecil, kaya
miskin, rakyat atau berpangkat. Beliau juga sangat sufi. Beliau tidak pernah
menyimpan uang serupiah pun. Menolak dengan halus jabatan DPR tingkat II Kab.
Semarang dan tawaran berupa mobil dan handphone. Dari segi pakaian dan dahar,
beliau sering berpakaian seadanya ketika ngaji dengan santri, bahkan dengan
kaos yang agak robek. Jarang dahar, terkadang hanya minum air putih. Sebenarnya
sejak kepemimpinan beliau, ponpes Al-Manar semakin maju. Namun Allah
berkehendak lain. Kamis, 11 Mei 2000, bertepatan dengan tanggal 6 shofar 1421
pukul 06.00 WIB Abah Kyai yang telah 6 hari berbaring sakit dibawa ke RSU
Boyolali. Kamis sore pukul 17.00 WIB tanggal itu juga, beliau berpulang ke
rahmat Allah SWT dengan meninggalkan sejumlah perjuangan yang wajib diteruskan
oleh para santri.
Demikianlah catatan singkat mengenai tiga tokoh Al-Manar. Pada hakekatnya
catatan yang singkat dan miskin ini belumlah cukup untuk menerangkan perjalanan
hidup sang tokoh. Namun demikian, semoga tulisan ini dapat menjawab beberapa
pertanyaan tentang beliau. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk pada
kami tentang hal-hal yang salah dalam tulisan ini.